Selamat Datang Di SAKAYALOWAS BLOG silahkan anda download apa yang anda butuhkan disini semoga bermanfaat

Haiiii,Baca ini...jangan lupa Komentar nya dooong.....

zwani.com myspace graphic comments

Senin, 10 April 2017

FILOSOFI GERO (LATAR BELAKANG LAHIRNYA HO HAM DALAM GERO SAMAWA)

LATAR BELAKANG LAHIRNYA HO HAM DALAM GERO SAMAWA
Oleh : Heri MB
 Di sebuah tempat,
belasan orang laki-laki berjalan perlahan-lahan
 dalam sebuah event budaya.
 Seorang diantara mereka menembangkan saketa,
 sebuah tembang yang tidak sembarang orang mampu melantunkannya
 karena membutuhkan suara yang tinggi serta nafas yang kuat,
 seorang lagi meniup serune dengan suara yang mendayu-dayu,
 sedangkan sisanya melantunkan gero dalam bentuk koor ho ho ham,
 ho ho ham, he he ham ba, dst, secara berulang-ulang.
 Koor itu begitu ramai, suaranya membahana di sekitar tempat itu,
 bahkan terdengar sampai di kejauhan.
 Semakin lama suara itu semakin bergemuruh,
 bagaikan suara ombak di tengah samudera luas,
apalagi ketika tiba di akhir acara, maka suara itupun semakin kuat menghentak, dan baru berhenti ketika tau basaketa memberikan syair penutup
sebagai tanda bila pertunjukan telah berakhir.
  Sekelumit cerita di atas adalah cerita tentang gero ketika ditampilkan dalam sebuah event budaya. Gero yang ditampilkan pada saat itu merupakan gero hasil modifikasi yang disesuaikan dengan moment acara.   Gero bagi sebagian besar masyarakat Sumbawa, mungkin dianggap hanya sebuah kesenian yang tidak punya makna apa-apa, atau mungkin di pandang hanya sebatas hiburan, setelah selesai di buat atau di tonton, lalu selesai begitu saja tanpa meninggalkan kesan sedikitpun. Hal ini wajar-wajar saja terutama bagi daerah seperti Kabupaten Sumbawa maupun Sumbawa Barat dimana kesenian tradisionalnya sangat minim informasi dan referensi, sehingga apresiasi masyarakat terhadap gero sebatas apa yang dilihat dan dipahami. Sebuah kesenian, apalagi seni tradisi, akan berkembang apa adanya ketika ia dikembangkan juga dengan apa adanya, begitu pula dengan gero. Gero tidak akan mampu tergali sampai tingkatan terdalam bila ia dibiarkan berkembang sendiri tanpa ada yang berusaha untuk mengangkatnya minimal mencoba menggali potensi gero yang lain, yang mungkin belum pernah dieksplorasi sebelumnya.   Berangkat dari latar belakang itulah, sehingga penulis berinisiatif untuk melakukan kajian, khususnya kajian tentang nilai-nilai spiritual dalam gero. Kajian ini berawal dari rasa penasaran penulis tentang latar belakang lahirnya kata ho ham, bagaimana ho ham bisa digunakan dalam gero. Penulis yakin bahwa ho ham tidak muncul begitu saja dalam khasanah seni tradisi Sumbawa (baca : gero), melainkan ada yang melatar belakanginya. Dari keyakinan tersebut, kemudian penulis mencoba untuk menelusurinya, baik melalui wawancara langsung dengan beberapa narasumber, maupun melalui kajian kepustakaan, terutama kajian terhadap kitab-kitab lama khususnya kitab-kitab yang dibuat oleh para ulama Sumbawa terdahulu. Hasil penelusuran tersebut kemudian dikaji kembali, lalu dikembangkan menjadi sebuah tulisan sederhana yang mudah-mudahan bermanfaat sebagai tambahan referensi.   Profil Gero   Gero merupakan salah satu kesenian tradisional Sumbawa berbentuk musik vocal yang berisi ho ho ham atau he he ham ba, dsb, yang dilantunkan secara beramai-ramai dan berulang-ulang. Gero biasanya disandingkan dengan saketa yang berbentuk tembang, sehingga keduanya disebut juga dengan gero saketa. Dalam musik modern, gero saketa dapat disamakan dengan musik accapela, yaitu sebuah musik yang sumber suaranya berasal dari vokal. Saat ini meski gero saketa tetap diakui keberadaannya, tapi sangat jarang ditampilkan, salah satu alasannya karena gero saketa termasuk dalam kelompok kesenian yang tidak bisa berdiri sendiri, tidak seperti sakeco maupun ratib rebana ode yang dapat ditampilkan dalam bentuk pentas tunggal. Dalam penyajiannya, kesenian ini membutuhkan sarana lain, seperti dilibatkan dalam pawai budaya, ansambel music kolaborasi, pentas teater, dsb.   Sejarah Singkat Kelahiran Gero   Sejarah kelahiran gero tidak diketahui dengan pasti, tapi diperkirakan berasal berasal dari masa Islam. Pada awalnya, gero plus saketa merupakan seni tradisi ritual. Dikatakan sebagai seni tradisi ritual, karena kesenian ini digunakan dalam berbagai upacara ritual pada masa kesultanan Sumbawa antara lain :
  1. 1.    Upacara Tanak Juran
Upacara Tanak Juran adalah sebuah upacara untuk memohon keselamatan pada Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan persembahan dari tau-tau Juran, yaitu penduduk Sumbawa yang berasal dari luar (pendatang), tetapi mendapat penghidupan di lingkungan ibu negeri kerajaan yang dikenal dengan nama Juran Empat (saat ini telah menjadi nama-nama kelurahan). Pada upacara ini, gero saketa selain berfungsi untuk memperkuat nuansa sakral upacara, juga untuk mengiringi gerakan para penari atau tau metak yang melakukan gerak betanak.
  1. 2.    Upacara Tanak Mulir
Yaitu upacara penutup dari satu rangkaian keramaian, dimana didalamnya juga termasuk Upacara Tanak Juran. Pada upacara ini, gero murni berfuingsi untuk menambah suasana sakral upacara.
  1. 3.    Upacara Pelepasan Keberangkatan Pasukan Bala Cucuk
Pasukan bala cucuk merupakan pasukan perang Sumbawa. Sebelum berangkat berperang, pasukan ini biasanya membersihkan diri terlebih dahulu di Buin Ai Awak, salah satu dari 3 (tiga) Ai Kadewa selain Sumir Batir dan Tungkup, sambil melakukan wirid untuk memohon perlindungan dan kekuatan dari Allah SWT, dan pada saat pasukan ini dilepas untuk berangkat berperang, biasanya diiringi oleh beberapa izip, salah satunya adalah gero.   Latar Belakang Lahirnya Kata Ho ham   Dari hasil penelusuran terhadap kitab-kitab lama, ditemukan 2 (dua) buah kitab yang penulis anggap memiliki keterkaitan dengan latar belakang lahirnya kata ho ham, yaitu Kitab AI JERNING dan MUTIARA INSANI yang kedua-duanya dikarang oleh Hasan Basri yang beralamat di Kampung Sampir Atas, Taliwang.   Ketiga kitab tersebut berhuruf arab dan berbahasa Sumbawa. Dalam kitab Nurul Ai Jerning dijelaskan tentang bentuk-bentuk zikir yang pernah berkembang di Sumbawa, dan menjadi pegangan para ulama terdahulu, yaitu :
  1. Laillahailallah                      :    Zikir Syariat atau Zikir Parana (tubuh)
  2. Allahu                                   :    Zikir Thareqat atau Zikir Ate (Hati)
  3. Ya hu atau hu, hu, hu         :    Zikir Hakekat atau Zikir Nyawa
  4. Ah atau ah, ah, ah              :    Zikir Ma’rifat atau Zikir Rahasia.
Bila diperhatikan keempat zikir tersebut, maka kata ho pada ho ho ham memiliki keterkaitan dengan zikir ketiga yaitu hu. Mengapa dengan hu? Dan bukan dengan zikir lailahailallah atau allahu? Karena hu merupakan zikir nyawa, yang sangat tepat bila digunakan oleh pasukan yang hendak berangkat berperang. Bagi pasukan seperti bala cucuk, masalah peperangan bukan lagi persoalan tubuh (zikir parana), karena jasad tidak berarti apa-apa, begitu pula dengan hati (zikir ate), karena hati telah tunduk sepenuhnya pada ketetapan Ilahi. Hal yang sama juga berlaku pada Upacara Tanak Juran, dimana pada upacara tersebut terdapat para penari yang melakukan gerak betanak yang disebut dengan tau metak. Gerak metak pada tarian tersebut melambangkan orang yang sedang menuju sakaratul maut dengan nafas yang naik turun. Sedangkan pada Upacara Tanak Mulir, para wanita yang berjalan sambil mengenakan mukena (ruyung) merupakan simbol bagi nyawa-nyawa yang dibangkitkan kembali oleh Allah SWT, lalu dikumpulkan di padang mahsyar.   Pada kitab tersebut, juga dijelaskan tentang alhamdu atau alhamdulillah sebagai asal dari kata ham, yang merupakan fiil sembahyang, yang terdiri dari 4 (empat) perkara, yaitu : 1) berdiri, 2) ruku’, 3) sujud, dan 4) duduk.
  1. Berdiri adalah huruf alif (), yang berasal dari api, di sebut juga dengan sembahyang ma’rifat. Kala itu tulang kita menyembah kehadirat Allah SWT,
  2. Ruku’ adalah huruf ha (ح), yang berasal dari angin, di sebut juga dengan sembahyang hakekat. Kala itu urat kita menyembah kehadirat Allah SWT,
  3. Sujud adalah huruf mim (م), yang berasal dari air, di sebut juga dengan sembahyang thareqat. Kala itu darah kita menyembah kehadirat Allah SWT,
  4. Duduk adalah huruf dal (د), yang berasal dari tanah, di sebut juga dengan sembahyang syareat. Kala itu daging kita menyembah kehadirat Allah SWT.
Selain itu, makna kata alhamdu juga dijelaskan pada Pasal tentang Asal Kejadian Lima Waktu atau Waktu Shalat yang sesuai dengan jumlah huruf pada kata alhamdu, yaitu ; alif (), lam (), ha (ح), mim (م), dan dal (د).
  1. Alif adalah asal sembahyang dzuhur
  2. Lam adalah asal sembahyang asar
  3. Ha adalah asal sembahyang
  4. Mim adalah asal sembahyang
  5. Dal adalah asal sembahyang
Untuk lebih jelasnya, maka di bawah ini penulis menyertakan isi kitab Ai Jerning halaman 2 s/d 6 yang diterjemahkan oleh penulis sesuai redaksi aslinya   “……………………Maka anung tu singin zikir syareat nan yakni lailahailallah, zikir tubu kita. Ke zikir thareqat nan yakni allahu allahu, zikir ate kita. Ke zikir hakekat nan, zikir nyawa yakni ya hu, yahu ato hu, hu, hu. Ke zikir ma’rifat nan yakni ah, ah, ah, zikir rahasia kita.   Pasal pang nyata ka pang lis waktu lima, sila faham benar-benar. Maka ada mo waktu lima nan lis ka pang ALHAMDU, yakni maka lis mo waktu Dzuhur nan ka pang huruf alif, ke lis mo waktu Asar nan ka pang huruf lam, ke lis mo waktu Magrib nan ka pang huruf ha, ke lis mo waktu Isya nan ka pang huruf mim, ke lis mo waktu subuh nan ka pang huruf dal. Wallahu a’lam. Maka huruf-huruf waktu lima nan ada pang dalam parana kita, yakni huruf alif nan pang selak kidat kita, ke huruf lam nan pang korok kita, ke huruf ha nan pang dada kita, ke furuf mim nan pang pusat kita, ke huruf dal nan pang ne kita”.   Dari penjelasan diatas, penulis berkeyakinan bahwa ho ham berasal dari kata hu dan alhamdu, dan merupakan salah satu bentuk zikir yang bernuansa lokal kedaerahan.     ***Yang mengcopy Paste tulisan ini harap mencantumkan Sumbernya guna kita menghargai Tulisan dan karya seseorang agar anda tidak dikatakan PLAGIAT Sumber : SAKAYALOWAS 

0 komentar:

Posting Komentar

Harap Tinggalkan pesan anda,,,

Tulisan Populer